Mungkin telinga kita tidak jarang mendengar kata 'Tafsir Ibnu Katsir'. Namun jika kita mendengar kata 'Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim', maka akan sedikit mengernyitkan dahi. Padahal keduanya adalah sama.

Tafsir al-Qur’an Al-‘Adzim atau lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir ini adalah salah satu dari antara tafsir bil ma’tsur yang shahih, jika tidak dikatakan yang paling shahih. Di dalamnya diterangkan riwayat-riwayat yang diterima dari Nabi Saw. Dari Sahabat-sahabat besar dan Tabi’in. riwayat-riwayat yang dho’if yang terdapat di dalam tafsir Ibnu Katsir, di tinggalkan semuanya, di samping diberikan komentar-komentar yang sangat memuaskan.

Berikut akan diterangkan tentang metodologi penulisan tafsir Ibnu Katsir yang meliputi gambaran, corak, metodologi penulisan, pandangan terhadap israiliyat, referensi, pandangan ulama, kelebihan dan kelemahan yang ada di dalamnya secara jelas dan utuh.

A. Gambaran Kitab Tafsir Ibnu Katsir


Pada  mulanya    kitab ini  ditulis  dengan  sepuluh  jilid,  tapi    kemudian dicetak dengan empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal.

Secara umum kitab tafsir Ibnu Katsir berjumlah 4 jilid. Dengan penerbit yang sama yaitu dari Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah-beirut, Lebanon. Pada tahun 2012. Dengan cover yang sama warna biru dongker keemasan merupakan cetakan keempat dengan ukuran yang sama pada setiap jilidnya yaitu 20x28.

Berikut uraian singkat perjilidnya sebagaimana dicetak penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon:  Jilid pertama terdiri atas 576 halaman dimulai dari surat Al-Fatihah (1) sampai surat An-Nisa’ (4). Jilid dua terdiri atas 567 halaman dimulai dari surat Al-Maidah (6) sampai surat An-Nahl (16). Jilid tiga terdiri atas 549 halaman dimulai dari surat Al-Isra’ (17) sampai surat Yassi (36). Jilid empat terdiri atas 551 halaman dimulai dari surat Ash-Shaffat (37) sampai surat An-Naas (144).

Pada terbitan Daarul Jiil, Beirut, tahun 1991, klasifikasinya seperti berikut: 1) Jilid I, dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisaa. Tebal: 552 halaman. 2) Jilid II, dari surat al-Maidah sampai surat an-Nahl. Tebal : 573 halaman. 3) Jilid III, dari surat al-Israa sampai surat Yaasiin. Tebal: 558 halaman. 4) Jilid IV, dari surat as-Shaafat sampai surat an-Naas. Tebal :580 halaman.

B. Corak Tafsir Ibnu Katsir


Kitab ini dapat dikaegorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’sur atau tafsir bi al-riwayah. Ini terbukti karena beliau sangat dominan dalam tafsirannya memakai riwayah atau hadits, dan pendapat sahabat dan tabi’in. Dapat dikatakan bahwa dalam tafsir ini yang paling dominan ialah pendekatan normatif historis yang berbasis utama kepada hadits atau riwayah. Namun Ibnu Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.

C. Metodologi  Tafsir ibnu Katsir


Sebelum  kita  mengambil  beberapa  penafsiran  dari  ayat  Al-Qur‟an  yang  telah ditafsiran Ibnu Katsir, alangkah lebih baiknya kita mengenal latar belakang keilmuan dan kondisi  yang  terjadi  pada  masa  Ibnu  Katsir,  sehingga kita  mengetahui  bagaimana relevansi kondisi itu denan peafsiran ayat Al-Qur‟an.
Karakater  karya  seseorang  tidak  akan  bisa  dilepaskan  dari  kecondongan  minat orang  tersebut,  kira-kira  seperti  itu  jugalah  tafsir  ibnu katsir.  Sosok  Ibnu  Katsir  yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa  lepas  dari  kondisi  jaman  saat  itu,  perhelatan  aliran  pemikiran  pada  abad  ke  7/8  H memang   sudah   kompleks.   Artinya   telah   banyak   aliran   pemikiran   yang   telah   ikut mewarnai karakter seseorang.

Pemahaman   yang   orisinil   untuk   mempertahankan   keauntetikan   Qur`an   dan sunnah  terus  dijaga. Inilah  sebagian  pewarnaan  Ibnu  Katsir  dalam  tafsirnya.  Selain  itu, kelompok-kelompok  yang  mengagungkan  akal  secara  berlebihan  dan  thariqah-thariqah shufiyah   telah   beredar   luas   kala   itu.   Islam   telah   berkembang   pesat   dan   banyak "agamawan"  yang  masuk  ke  dalam  Islam. Hal  ini  ikut  pula  mempengaruhi sekaligus mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.

Ibnu  Katsir  yang  telah ter-sibghah dengan  pola  pikir  gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode   tafsir   yang   ia   gunakan   persis   sealur   dan   sejalur   dengan   gurunnya   Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibnu katsir telah menjadi rujukan  kategori  tafsir  bil-ma'tsur.  Yang  tentunya  hal  ini  tidak  bisa  dipisahkan  dari metode beliau dalam karyanya.

Untuk lebih jelasnya, mari kita analisa beberapa ayat berikut :

1. Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 47 juz 1

Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku  yang telah aku anugerahkan  kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”

Allah  mengingatkan  Bani  Israil  akan  nikmat  yang  dulu  diberikan  kepada  nenek moyang  dan  pendahulu  mereka.  Yaitu  nikmat  keungulan  mereka  berupa  pengangkatan sebagian mereka menjadi rasul, penurunanan Al-Kitab, dan mengunggulkan mereka atas umat lain pada zamannya, sebagaimana Allah berfirman , “Dan sesunguhnya telah kami pilih mereka dengan pengetahuan (kami) atas bangsa-bangsa.‟ ( Ad-Dukhan : 32). Abul Aliyah berkata, “ mereka mendapat keunggulan melalui kerajaan, pra rasul, da kitab-kitab, atas umat lain pada amannya. Karena pada setiap zaman ada umat yang unggul.

Diriwayatkan  dari  mujahid  dan  dari  yang  lainnya  bahwa ayat  di  atas  harus ditafsirkan  seperti  itu,  karena  umat  ini,  yakni  umat  islam,  lebih  unggul  dari  bani  israil, berdasarkan  firman  Allah  tentang umat  ini, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf  dan menceah dari yang munkar dan  beriman  kepada  Allah.  Sekiranya  ahli  kitab  beriman  ,  tentulah  itu  lebih  baik  bagi mereka.” (Ali-Imran :110), maka ayat diatas tidak boleh dibelokan unuk mengunggulkan Bani  Israil  atas  umat-umat  yang  lain,  baik  yang  sebelum  taupun  ssesudahnya.  Ibrahim yang  ada  sebelum  mereka  adalah  lebih  unggul  dar  segenap  nabi    terdahulu.  tetapi Muhamad  saw.  Yang  lahir  setelah  mereka  adalah orang  yang  paling  unggul  atas  semua mahluk,  junjungan  umat  manusia,  baik  didunia  aupun  di  akhirat.  Shalawat,  salam  dan erkah Allah semoga terlimpah atasnya.

2. Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 210 juz 2

Tiada  yang  mereka  nanti-nantikan  melainkan  datangnya  Allah  dan  Malaikat  (pada hari kiamat)  dalam  naungan  awan,  dan  diputuskanlah  perkaranya.  dan  hanya  kepada Allah dikembalikan segala urusan.

Allah mengancam kaum  kafir,” Tiada yang mereka nanti-nantikan kecuali Allah mendatangkan  merka  dalam  naungan  awan  dan  malaikat,” yakni  pda  hari  kiamat sebagai  penetapan  keputusan  antara  orang-orang  terdahulu  dan  kemudian,  lalu  setiap pelaku  dibalas  selaras  dengan  perilakunya.  Jika perilakunya  baik  maka  akan  dibalas dengan kebaikan , dan jika buruk maka dibalas dengan keburukan. Oleh karena itu Allah swt. berfirman lalu diputuskan lah persoalan itu, dan kepada Allah –lah segala persoalan itu dikembalikan”, sebagaiman Allah berfirman, “ Jangan (berbuat demikian).  Apabila bumi   diguncangkan   berturut-turut   dan   datanglah   Tuhanmu,   sedangkan   malaikat berbaris-baris,  dan  pada  hari  itu  diperlihatkan  neraka  jahanam;  dan  pada  hari  itu ingatlah   manusia,   akan   tetapi   tidak   berguna   lagi   mengingat   itu   baginya.   Dia mengatakan, "Alangkah baiknya jika aku dahulu mengerjakan (amal shaleh) untuk hidupku ini.” ( al-Fajr :21-24)

Berkaitan  dengan  kejadian  itu,  Ibnu  Jarir  menuturkan  sebuah  hadits    yang  akan dikemukakan intinya. Hadits itu diterima dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw.. Hadits ini terkenal dan dideretkan bukan hanya oleh seorang  dari berbagai sanad. Dalam hadits itu dikatakan, “....Sesunguhnya tatkala manusia hendak menuju tempatnya di beberapa lapangan,  maka  mereka  akan  meminta  syafaat  kepada  Tuhan  mereka  melalui  para  nabi, satu  demi  satu,  mulai  dari  Adam  kemudian  kepada  nabi    yang  sesudahnya.  Semuanya menyatakan  tidak  mampu  untuk  member  manfaaat.  Akhirnya  sampailah  mereka  kepada nabi   Muhammad   saw..   Ketika   mereka   menemuinya,   beliau   bersabda,  „Aku  akan memintakan  syafaat ...aku akan memintakannya.‟ Kemudian beliau pergi dan bersujud kepada  Allah  dibawah  Arasy.  Beliau  memberikan  syafaat,  pada  sisi  Allah  untuk  tampil menyelesaikan  permasalahan  diantara  para  hamba.  Dia  menjadkan  nabi  dapat  memberi syafaat,  dan  Dia  datang  dalam  naungan  awan  dan  malaikat.  Kedatangan-Nya  itu  terjadi setelah  terbelahnya  langit  dunia  dan  turunnya  para    malaikat  yang  ada  disana.  Kemudian terbelah pula langit kedua, ketiga hingga langit ketujuh. Kemudian turu pula para malaikat yang memikul Arasy dan malaikat karabiyun. Nabi bersabda,‟ maka turunlah yang maha perkas  Azza wa jalla dalam naungan aan dan malaikat  yag bergemuruh oleh suara tasbih mereka yang mengatakan : Maha suci pemilik kekuasaan dan seluruh kerajaan, maha suci pemilik  kegagahan  dan  keperkasaan,  Maha  suci  Dzat  yang  hidup  dan  tdak  akan  mati, mahasuci  zat  yang  mematikan  seluruh  makhluk  sedang  Dia  tidak  akan  mati,  Mahasuci, Maha  qudustuhan  para  malaikat  dan  Jibril,  Mahasuci  dan  Mahaqudus  kesucian  Tuhan kami     yang    Maha    tinggi,    Mhasuci    pemiik    kekuasaan    dan    kebesaran,    dan Mahasuci.....Mahasuci....untuk selama-lamanya..selamanya”.

3. Al-Qur‟an surat  an-Naba ayat 31-36 juz 30

Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur,  Dan gadis-gadis remaja yang sebaya, Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di  dalamnya  mereka  tidak  mendengar  Perkataan  yang  sia-sia  dan  tidak  (pula) Perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, Allah   swt.menggambarkan      tentang      orang-orang   yang   akan   mendapatkan kebahagiaan  beserta  kemulian  dan kenikmatan abadi  yang telah disediakan Allah Ta‟ala bagi mereka.   

Allah   swt.   berfirman, “ Sesungguhnya   orang-orang   yang   bertaqwa mendapatkan  kemenangan.“  Ibnu  Abbas  mengatakan mafazan artinya  berjalan-jalan, karena selanjutnya Allah swt. berfirman,”Kebun-kebun dan buah anggur dan gadis-gadis  remaja yang sebaya ,”yaitu  bidadari  yang  montok  buah  dadanya.  Mereka  adalah  gadis yang sebaya dan sangat mencintai pasanganya.

Allah  swt.  berfirman, “ Dan  gelas-gelas yang penuh,” berisi  terus  menerus,  tak pernah  kosong . ”Didalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia  dan  tidak pula dusta,”
sebagaiman firman-Nya,” Didalam surga  itu mereka saling memperebutkan piala  yang  isinya  tidak  (kata-kata)  yang  tidak  berfaedah  dan  tidak  pula  perbuatan  dosa.”( ath-Thuur  :23)  yaitu,  di  dalam  surga itu  tidak  terdapat  kata-kata  yang  tidak  berfaedah dan tidak  pula  dosa  dan  dusta,  bahkan  surga merupakan  tempat  tinggal  yang  dipenuhi dengan  kesejahteran  dan  semua  yang  terdapat  didalamnya  selamat  dari  berbagai  macam kekurangan.

Allah  swt. berfirman ,” Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup”.
Yaitu semua yang disebutkan ini merupakan balasan Allah terhadap mereka , dan Allah memberikannya kepada mereka sebagai karunia, nikmat, kebaikan dan rahmt-Nya. “

Dan pemberian yang cukup”. Hisaban dalam ayat ini artinya "cukup‟. Arti ini terdapat dalam ungkapan hasbiyallah, artinya „cukup Allah bagi diriku, tidak perlu yang lain‟.

Dari   penafsiran   di atas   kita   dapat   menarik   kesimpulan   bahwa   metode   yang digunakan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an adalah sebagai berikut :
  1. Menafsirkan  Al-Qur`an  dengan  Al-Qur`an.  Pendeknya,  Ia  menjelaskan  satu  ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka  pada  ayat  yang  lain  akan  ada  pengikatnya  (muqayyad).  Atau  pada  suatu  ayat bertemakan umum (‟âm) maka pada ayat yang lain di khususkan (khâsh). Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam  penafsiran,  adalah  menafsirkan  ayat  dengan  ayat  yang  lain”. Pada  contoh di atas yaitu surat al-Baqarah ayat 47, al-Baqaah ayat 210 serta an-Naba ayat 35, Ibnu Katsir menyitir ayat al-Qur‟an ang lain untuk lebih jelas menafsirkannya.
  2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah (Hadits).  Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung  untuk  menafsirkan  suatu  ayat  dengan  berpuluh-puluh  hadits –bahkan  mencapai  50  hadits –kasus  ini  bisa  dilihat  ketika  menafsirkan  surat  al-Isrâ. Adapun pada contoh diatas terdapat pada surat al-Baqarah ayat 210.
  3. Tafsir  Qur`an  dengan  perkataan  sahabat.  Ibnu  Katsir  berkata,  jika  kamu  tidak mendapati  tafsir  dari  suatu  ayat  dari  al-Qur`an  dan  Sunnah,  maka  jadikanlah  para sahabat  sebagai  rujukannya,  karena  para  sahabat  adalah  orang  yang  adil  dan  mereka sangat  mengetahui  kondisi  serta  keadaan  turunnya  wahyu.  Ia  menjadikan  konsep  ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibnu Mas‟ud: “demi Allah tidak  suatu  ayat  itu  turun  kecuali  aku  tahu  bagi  siapa  ayat  itu  turun  dan  di  mana turunnya.  Dan  jika  ada  seseorang  yang  lebih  mengetahui  dariku  mengenai  kitab Allah,  pastilah  aku  akan  mendatanginya“.  Juga  riwayat  yang  lain  mengenai didoakannya  Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya  Allah  fahamkanlah  Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta‟wil kepadanya“. Kita dapat melihat pada surat an-Naba ayat 31 beliau menukil perkataan Ibnu Abbas.
  4. Menafsirkan dengan perkataan tabi‟in. Cara ini adalah cara  yang paling  akhir dalam  cara  menafsirkan  Al-Qur`an  dalam  metode  bil-ma`tsur.  Ibnu Katsir  merujuk akan  metode  ini,  karena  banyak  para  ulama  tafsir  yang  melakukannya,  artinya, banyak ulama tabi‟in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibnu Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada  Ibnu Abbas,  dan ia  menyetujuinya.  Sufyan  al-Tsauri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi‟in adalah Sa‟id bin Jabir, Ikrimah, Atha‟ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa‟id bin  Musayyab,  Abu  al-‟aliyah, Rabi‟ binAnas,  Qatadah,  al-Dahhaak  bin  Muzaahim Radliyall'ahu  'anhum. Kita  dapat  melihat  pada surat  al-Baqarah  ayat  47  beliau menukil perkataan Mujahid.

D. Sikap Ibnu Katsir terhadap Israiliyat dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir


Sikap  Ibnu  Katsir  dalam  israiliyat  sama  dengan  gurunya  Ibnu Taymiyyah,  akantetapi dia lebih tegas sikapnya dalam menghadapi masalah ini. Sebagaimana ulama yang lain, Ibnu Katsir mengklasifikasikan israiliyat ke dalam tiga jenis.

Pertama, riwayat yang shahih  dan  kita  harus  meyakininya.  Pendeknya,  riwayat  israiliyat  tersebut  sesuai  (baca: ada) dengan apa yang di ajarkan oleh syari‟at Islam.

Kedua,  riwayat  yang  bersebrangan dengan  Islam,  berarti  kewajiban  untuk  ditolak,  karena  riwayat  ini  adalah  riwayat  dusta.

Ketiga, riwayat yang tawaquf ditangguhkan. Hal ini menuntut sikap untuk tidak meyakini 100  %  dan  menolak  100%.  Sebagaimana  dijelaskan  dalam  hadits, “kabarkanlah  oleh kamu tentang bani Israil karena hal itu tidak mengapa bagi kamu...“. Dan hadits lain, “janganlah kamu sekalian membenarkan mereka, juga jangan mendustakan mereka”.

Untuk  point  pertama  dan  kedua  ibnu Katsir  sepakat  dengan  ulama  yang  lain  tapi  untuk point ketiga Ibnu Katsir kurang sepakat dalam tatanan realitanya. hal ini bisa kita cermati, ketika  beliau  banyak  mengedepankan  tentang  larangan  periwatan  israiliyat  yang  Ia suguhkan dalam metode tafsirnya.

Begitu  pula,  Ia  banyak  melontarkan  kritik  terhadap  riwayat  israiliyat,  karena riwayat  ini  kurang  mempunyai  faidah  baik  itu  dalam  permasalah  keduniaan  maupun problematika  keagamaan.  Berbagai  trik  Ia  gunakan  dalam  menghadapi  riwayat  ini.

Seperti, tidak menyebutkan riwayat ini atau, kalaupun ia ungkapkan ia sandarkan kepada orang  yang  mengatakannya.  Lalu  ia  diskusikan  dan  menjelaskan  kelemahan  serta  sisi kekurangan riwayat ini.

E. Referensi Tafsir Ibnu Katsir


Setelah  diteliti  oleh  muhaqqiq  dalam  bidang  tafsir  dan  hadits,  tafsir Ibnu Katsir sangat  ilmiah  dan  kaya  dengan  referensi  yang  sulit  di  dapat.  Bahkan  sekarang  ada beberapa  jenis  referensi  yang  sudah  tidak  ada  dan  sangat  sulit  dicari.  Betapa  karya  ini kaya  dengan  ilmu   yang  menyimpan  mutiara-mutiara  berharga,  karena   Ibnu Katsir menjadikan  referensi  karyanya  yang  diambil  dari  berbagai  disiplin  ilmu,  Baik  itu  tafsir, ilmu  tafsir,  hadits,  ilmu-ilmu  hadits,  lughah,  sejarah,  fiqh,  ushul  fiqh,  bahkan  geografi.

Dari  hasil  penelitian,  tafsir  ibn  katsir  menjadikan  rujukannya  tidak  kurang  dari  241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin ilmu. Dari jumlah itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kutub al-muqaddasah; al-qur`an, at-taurat dan injil.
2. Tafsir dan ilmunya, tidak kurang dari 36 judul buku dari berbagai pengarang.
3.  Hadits,  syarh  hadits  dan  ilmu-ilmunya  terdiri  dari  71  judul  buku  dari  berbagai pengarang.
4. Fiqh dan ilmu ushul fiqh yang terhipun dari 32 judul buku.
5. Sejarah tidak kurang dari 25 judul buku.
6. Bahasa dan disiplin ilmunya 4 judul buku.
7. Kategori berbagai disiplin ilmu terdiri dari 44 judul buku.
8. Kategori karya umum: 7 judul buku.
9. Naql langsung dari guru-guru ibn katsir.
10. Kategori umum yang tidak bisa dilacak kurang lebih 13 jenis.

F. Komentar Para Ulama terhadap Tafsir Ibnu Katsir


Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar “ Tafsir ini merupakan tafsir paling  masyhur  yang  memberian  perhatian  besar  pada  riwayat-riwayat  dari  para mufassir    salaf,    menjelaskan    mana-mana    ayat    dan    hukumnya,    menjauhi pembahasan  masalah I'rab dan cabang-cabang balaghah  yang  pada  umumnya dibicarakan  secara  panjang lebar  oleh  kebanyakan  mufassirin,  menghindar  dari pembicaraan  yang  melebar  pada  ilmu-ilmu  lain  yang  tidak  diperlukan  dalam memahami  al-Qur'an  secara  umum  atau  hukum  dan  nasihat-nasihatnya secara khusus.”

Imam  Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir ibnu Katsir, “lam yu-laf 'alâ namthihi mitsluhu“ (belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya).

G. Keistimewaan Metodologi Tafsir Ibnu Katsir


Keistimewaan  tafsir Ibnu Katsir  ini  bisa  kita jabarkan ke  dalam  beberap  point:

Pertama, nilai  (isi)  tafsir  tersebut  tidak  hanya  tafsir atsari saja  (bil ma'tsur),  yang menghimpun  riwayat  serta  khabar.  Tapi  beliau  juga  menghimpun  referensi  yang  lain.

Kedua, menghimpun  ayat-ayat  yang  serupa  dengan  menjelaskan  rahasia  yang  dalam dengan  keserasiannya,  keselarasan  lafadnya,  kesimetrisan  uslubnya  serta  keagungan maknanya.

Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi'in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla'if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta'dîl. Pada  kebiasaannya  dia  rajihkan aqwal yang shahih dan menda‟ifkan riwayat yang lain.

Keempat,   keterkaitan   tafsir   ini   dengan   pengarangnya   yang   mempunyai   kafabilitas mumpuni  dalam  bidangnya.  Ibnu  Katsir  ahli  tafsir,  tapi  diakui  juga  sebagai  muhaddits, sehingga  dia  sangat  mengetahui  sanad  suatu  hadits.  Oleh  karenanya,  ia  menyelaraskan suatu  riwayat  dengan naql yang  shahih  dan  akal  sehat.  Serta  menolak  riwayat  yang munkar  dan  riwayat  yang  dusta,  yang  tidak  bisa  dijadikan hujjah baik  itu  di  dunia ataupun di akhirat kelak.

Kelima,   jika   ada   riwayat   israiliyat   Ia   mendiskusikannya   serta   menjelaskan kepalsuannya,  juga  menyangkal  kebohongannya  dengan  menggunakan  konsep jarh wata‟dil.

Keenam,  mengekspresikan manhaj  al-salâfu  al-shaleh dalam  metode  dan  cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

G. Kelemahan Metodologi tafsir Ibnu Katsir


Dari   analisa   di   atas,   menurut   saya      terdapat   beberapa   kekurangan   dalam penafsiran  Al-Qur‟an yang dilakukan Ibnu Katsir, yaitu  diantaranya kurang  membahas masalah I‟rab dan  ketatabahasaan  dalam  menafsirkan  ayat-ayat  dalam  Al-Qur‟an.  Dari hasil  penelitian yang  dilakukan  para  peneliti  dari  ualama  al-Azhar terdapat  beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya.
Memang  catatan  yang  ditujukan  kepada  tafsir  ini  tidak  mengurangi  keilmiahan dan  nilai  tafsir  ini -insya  Allah-.  Dalam  hal  ini,  catatan  tersebut  di  uraikan  sebagai berikut:
1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli 'Imrân:169.  Ia menyebutkan  riwayat  Ahmad;  tsana  Abdul  Samad,  tsana Hamâd, tsana Tsabit, „an Anas  marfû‟an,  “mâ  min  nafsin  tamûtu  laha...”  al-hadits.   Ibn   katsir   berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari  jalan Humed  dan  Qatadah  dari  Anas.  Imam  Muslim  tidak  mengeluarkan  hadits ini  dari  Tsabit  melalui  jalur  Anas.  Sebenarnya  yang  meyendiri  itu  adalah  riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min harîq Hamâd“.
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir  surat  yusûf:5.  Dalam  penafsiran  surat  ini,  Ia  mengungkapkan  hadits  yang diriwayatkan  oleh  imam  Ahmad  dan  sebagian  Ahli  Sunan  dari  Muawiyyah  ibn Haydah  al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya 'alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu‟bar.....“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah   yang  diriwayatkan  oleh  imam   Ahmad.   Imam   Abu  Dawud,   Imam Tirmidzi  dan  Ibn  Majah  serta  yang  lainnya  meriwayatkan  hadits  dari  Abi  Rizin  al-‟Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-‟Uqayli.
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An‟am:59 dari ibn Abi Hâtim  dengan sanadnya kepada malik ibn Sa‟îr, tsnâ al-A‟mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari  Abdullah ibn  al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin....“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani  Abu  al-Khathab.  Sementara  dalam  tafsir  ibn  katsir  di  dapati  bahwa  yang meriwayatkan  itu,  Ziyad  ibn  Abdullah  al-Hasani  abu  al-Khatab.  Ini  jelas  keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa‟ir melalui jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.
4.  Kurang  menyentuh  dalam  menyandarkan  riwayat.  Contoh,  sebagaimana  yang  Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli „Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti  al-rajulu  mawlâhu  fayas`aluhu...“.  Ibn  Katsir  merasa  cukup  menyandarkan dalam  periwayatannya  kepada  ibn  Jarir  dan  Ibn  Mardaweh.  Padahal,  hadits  ini diriwayatkan  oleh  imam Ahmad,  Abu  Dawud,  Nasâ`i  dan  yang  lainnya,  yang  lebih utama untuk di sandarkan.
5.  Lupa  dalam  menukil  beberapa  perkataan  ulama.  Contonya,  tafsir  surat  al-A‟raf:8. Ia  menyebutkan  hadits  riwayat  imam  Tirmidzi.  Imam  Tirmidzi  mengomentari  hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.

Demikian Metodologi Penulisan Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim (Tafsir Ibnu Katsir) yang meliputi gambaran, corak, metodologi, referensi, pandangan terhadap israiliyat, kelebihan dan kelemahan daripadanya. Semoga bermanfaat.

Share this:

Show Disqus Comment Hide Disqus Comment